PERAN
PEMERINTAH DAERAH
TERHADAP
PENGELOLAAN MANAJEMEN KOLABORASI SUMBER DAYA PESISIR
Makalah ini
dibuat untuk memenuhi tugas
mata kuliah
Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Dosen
Pengampu : Dr.Ir. Apendi Arsyad, M.Si

Disusun
Oleh :
Anisa
Oktaviani Kurnia
A.
1510766
PROGRAM
STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
DJUANDA BOGOR
BOGOR
2019
Alhamdulillahirobbil a’lamin, puji
dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat
sehat serta atas ridho dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini
yang berjudul “Peran Pemerintah Daerah Terhadap Pengelolaan Manajemen
Kolaborasi Sumber Daya Pesisir” dengan baik.
Penulis menyadari masih terdapat
kekurangan-kekurangan dalam penulisan makalah ini. Namun demikian, semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukan. Amin.
Bogor,
26 Januari 2019
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Indonesia memiliki potensi sumber daya
alam yang melimpah dalam sumber daya pesisir dan laut. Badan Pusat Statistik
(2014) mencatat Indonesia memiliki kepulauan sekitar 17.504 pulau dengan
panjang garis pantai 99.093 km dari Badan Informasi Geospasial (BIG). Sepanjang
garis pantai terdapat wilayah pesisir yang relatif sempit akan tetapi memiliki
potensi sumberdaya alam hayati dan non-hayati, sumberdaya buatan, dan jasa
lingkungan yang penting bagi kehidupan masyarakat.
Sumber daya pesisir dan laut
mengalami degradasi akibat perilaku pemanfaatan sumber daya yang tidak ramah
lingkungan. Pemanfaatan tersebut cenderung bersifat merusak. Kegagalan
pemerintah dalam mengelola sumber daya seringkali terletak pada pendekatan yang
cenderung top down dengan menganut
sistem state based management atau
pengelolaan yang berbasis pemerintah (Ayers dan Kittinger 2014). Pengelolaan
dengan pendekatan secara bottom up
dengan menganut sistem community based
management atau pengelolaan berbasis masyarakat bukan berarti dapat menjadi
solusi dalam menangani permasalah ini. Pemanfaatan dan pengelolaan daerah dan
pesisir yang dilakukan masyarakat maupun daerah sebagian belum memenuhi
ketentuan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dan berkelanjutan
Perencanaa pengelolaan sumber daya
pesisir dan laut secara kolaboratif diperlukan. Pomeroy dan Williams (1994)
mendefinisikan manajemen kolaborasi sebagai pembagian tanggung jawab dan
wewenang antara pemerintah dan nelayan lokal atau masyarakat untuk mengelola
sumber daya alam atau perikanan. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan
pembuat kebijakan memiliki peranan dan posisi yang besar dalam melakukan pengelolaan.
Pada PP Nomor 60 tahun 2007 Pasal 18 yang mengatur tentang konservasi sumber
daya ikan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
dalam mengelola kawasan konservasi yang dapat melibatkan masyarakat melalui
kemitraan antara unit 2 organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat atau
masyarakat adat, LSM, korporasi, lembaga penelitian, dan perguruan tinggi.
Pengelolaan sumber daya alam secara
hukum atas landasan UUD 1945 yang menyebutkan pengelolaan menjadi wewenang
negara sehingga setiap kebijakan keputusan dibuat secara sentralistik, namun
dalam upaya mendorong pembangunan nasional maka diwujudkan sistem otonomi
daerah. Sistem pemerintahan otonomi daerah dilaksanakan atas kesadaran bahwa
masyarakat setempat lebih memahami karakteristik wilayahnya, maka keputusan
yang dibuat pun akan lebih sesuai dengan kebutuhan wilayah tersebut. Otonomi
daerah sebagai upaya untuk mendorong pembangunan nasional dimana daerah
diberikan wewenang untuk dapat mengambil keputusan yang lebih cepat, tepat dan
mengutamakan kondisi wilayahnya. Hal ini memperkuat pendapat Svein Jentoft
dalam Wilson et al (2003) yang menegaskan bahwa salah satu kunci keberhasilan
dalam manajemen kolaborasi adalah dengan desentralisasi.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian di atas, hal
menarik yang dapat dirumuskan untuk dibahas
yaitu sebagai berikut :
1.
Bagaimana
peraturan pengelolaan sumberdaya pesisir?
2.
Faktor-faktor apa saja yang menunjang keberhasilan
manajemen kolaborasi sumberdaya pesisir?
3.
Apa yang
dimaksud desentralisasi dan otonomi daerah?
4.
Bagaimana peran pemerintah daerah dalam pengelolaan manajemen kolaborasi sumberdaya
pesisir?
1.3 Tujuan
Makalah
Tujuan makalah ini dibuat
berdasarkan uraian di atas, yaitu untuk :
1.
Mengetahui
peraturan pengelolaan sumberdaya pesisir;
2. Mengetahui
faktor-faktor apa saja yang menunjang keberhasilan manajemen kolaborasi
sumberdaya pesisir;
3. Mengetahui
penjelasan desentralisasi dan otonomi daerah; dan
4. Mengetahui
bagaimana peran pemerintah daerah dalam pengelolaan manajemen kolaborasi
sumberdaya pesisir.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Peraturan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
Wahyudin (2011) dalam studi
karakteristik sumber daya pesisir pada kawasan Teluk Pelabuhan Ratu Sukabumi,
Jawa Barat menyebutkan secara de facto,
penduduk pesisir setempat merasa bahwa lahan dan sumber daya kelautan di sekitar
adalah milik mereka, yang dikelola secara tradisional turun temurun. Secara de jure, pasal 4 UU RI Nomor 6/1996
tentang Perairan Indonesia, menyatakan seluruh sumber kekayaan alam yang
terdapat dalam perairan Indonesia adalah milik Pemerintah (pusat dan daerah).
Namun bukan berarti pemerintah pusat dan daerah
dapat melakukan pemanfaatan sumber daya tersebut secara berlebihan. Langkah
serius pemerintah dalam hal pengelolaan sumber daya pesisir dan laut dibuktikan
dengan dikeluarkannya berbagai peraturan kewenangan pemerintah pusat yang salah
satunya telah diatur dalam UUD 1945, Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 ayat (3)
yang menyebutkan :
“Bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah karunia Tuhan Yang Maha
Esa dan dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Undang-undang tersebut menjelaskan
bahwa negara memiliki kekuasaan setinggi-tingginya untuk mengatur sumber daya
alam termasuk pesisir. Pengelolaan tersebut haruslah bersifat adil dan
mengatasnamakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Selain tercantum pada
UUD 1945, peraturan mengenai pengelolaan pesisir juga tercantum pada :
1)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985,
mengatur tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea
(Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut). Negara berkewajiban
dalam melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Selain kewajiban tersebut
negara pun memiliki hak berdaulat untuk mengeksploitasi kekayaan alam sesuai
dengan kebijaksanaan yang berlaku. Peraturan ini pun menguatkan kewajiban atas
negara untuk mengelola pesisir.
2)
Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007
tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang kemudian telah
direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014. Undang-Undang Nomor 27 tahun
2007 dinilai belum memberikan kewenangan dan tanggung jawab negara secara
memadai atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil.
3)
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014
tentang Pemerintah Daerah yang menyebutkan bahwa kewenangan pengelolaan sumber
daya pesisir dilimpahkan kepada pemerintah provinsi.
Peraturan dan perundang-undangan di
atas memaparkan bahwa negara memiliki kewenangan dan tanggungjawab dalam
pengelolaan sumber daya alam wilayah pesisir secara nasional. Namun, sebagai
konsekuensi adanya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, daerah
diberikan kewenangannya dalam mengelola sumber daya dan lingkungan secara
bijaksana.
Penyusunan perencanaan kebijakan
pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan secara terpadu harus mampu
mengakomodasi segenap kepentingan pelaku pembangunan sumberdaya pesisir. Hal
tersebut dapat disusun saat mengetahui wilayah pesisir dan model
pengelolaannya, yaitu sebagai berikut :
1. Wilayah
Pesisir
Menurut
Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 yang telah direvisi menjadi Undang-Undang No. 1
Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, wilayah
pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Sementara sumber daya pesisir dan
pulau-pulau kecil yang dimaksud mencakup sumber daya hayati, sumber daya
nonhayati, sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan.
Sumber daya
hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut
lain. Sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, dan mineral dasar laut.
Sedangkan sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan
kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah
pesisir.
Berdasarkan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 40 tahun 2007 Pasal 1 ayat 7, wilayah
pesisir didefinisikan sebagai berikut : “Perairan pesisir adalah laut yang
berbatasan dengan daratan yang meiputi perairan sejauh 12 mil laut diukur dari
garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau estuari,
teluk, perairan dangkal, rawa payau dan laguna” Sumber daya pesisir dan
perikanan/kelautan pada hakekatnya memiliki sifat terbarukan (renewable) melalui siklus alamiah. Namun
demikian pada tingkat konsumsi yang melebihi kecepatan proses siklus alamiah,
akan mengalami kelangkaan (Durand 2010).
Sumberdaya laut
dalam pandangan ekologi politik merupakan satu kesatuan yang saling
membutuhkan. Apabila ada salah satu komponen yang rusak, akan memengaruhi
keberlangsungan hidup komponen sekitarnya. Demi menjaga keberlangsungan hidup
suatu ekosistem sumber daya laut diperlukan adanya pedoman pengelolaan untuk
setiap komponen ekosistem di wilayah pesisir. Sumber daya-sumber daya tersebut
memiliki pengaruh pada setiap pihak yang terlibat dan juga berpengaruh terhadap
keberlanjutan dalam segi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Masyarakat sekitar
pesisir akan sangat terpengaruh oleh potensi sumber daya alam yang ada di
pesisir untuk keberlangsungan kehidupannya.
Wilayah pesisir
memiliki nilai ekonomi tinggi, namun terancam keberlanjutannya. Dengan potensi
yang unik dan bernilai ekonomi tinggi tersebut maka wilayah pesisir dihadapkan
pada ancaman yang tinggi pula. Maka dari itu, hendaknya wilayah pesisir
ditangani secara khusus agar wilayah ini dapat dikelola secara berkelanjutan.
Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir yang dilakukan oleh masyarakat
maupun daerah sebagian belum memenuhi ketentuan pemanfaatan sumber daya alam
secara lestari dan berkelanjutan.
2.
Model Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
Menurut UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pengelolaan wilayah pesisir adalah suatu
pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumber
daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah, antar sektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara
ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Berkaitan dengan pengelolaan sumber daya
perikanan, Satria (2015) berpendapat bahwa terdapat salah satu pendekatan dalam
mengklasifikasikan model pengelolaan sumber daya perikanan yaitu berdasarkan
tingkat pengendalian pemangku kepentingan. Adapun Jentoft (1989) dalam Satria
(2015) mengklasifikasikannya menjadi 3 yakni government (command and control), community based management, dan
ko-manajemen.
a.
Pengelolaan oleh Pemerintah
Merupakan model konvensional
dengan pemerintah memegang seluruh kendali pengelolaan sumber daya perikanan,
khususnya dalam hak inisiatif maupun pengawasan melalui organisasi formal yang
dimilikinya. Bagi Nelayan atau pelaku usaha perikanan lainnya tidak mendapatkan
kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Dengan
demikian, proses pengelolaan sumber daya berlangsung secara sentralistik.
b.
Pengelolaan oleh Masyarakat
Merupakan kebalikan model
command and control. Munculnya praktik pengelolaan oleh masyarakat dikarenakan
dengan kegagalan praktik pengelolaan sumber daya yang berpusat kepada
pemerintah. Pengelolaan oleh Masyarakat dikenal juga dengan community based
management (CBM) yang memberikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya
perikanan sepenuhnya kepada Nelayan atau pelaku usaha perikanan di suatu
wilayah tertentu melalui organisasi yang sifatnya informal. Ruddle (1999)
dikutip Satria (2009), unsur-unsur pengelolaan sumber daya perikanan berbasis masyarakat antara lain :
1)
Territorial Boundary (batasan wilayah): ada
kejelasan batas wilayah yang kriterianya adalah mengandung sumber daya yang
bernilai bagi masyarakat.
2)
Rules (peraturan): berisi hal-hal yang
diperbolehkan dan yang dilarang. Dalam dunia perikanan, aturan tersebut
biasanya mencakup kapan, dimana, bagaimana, dan siapa yang boleh menangkap.
3)
Rights (hak) : pengertian hak bisa mengacu
pada seperangkat hak kepemilikan yang dirumuskan Ostrom dan Schlager, yaitu hak
akses, hak pemanfaatan, hak eksklusi, dan hak pengalihan.
4)
Authority (kewenangan): pemegang otoritas
merupakan organisasi atau lembaga yang dibentuk masyarakat yang bersifat formal
maupun informal untuk kepentingan mekanisme pengambilan keputusan. Ada pengurus
dan susunan yang disesuaikan dengan kondisi.
5)
Sanctions (sanksi): untuk menegakkan aturan
diperlukan sanksi sehingga berlakunya sanksi merupakan indikator berjalan
tidaknya suatu aturan. Ada beberapa tipe sanksi; sanksi sosial (seperti
dipermalukan atau dikucilkan masyarakat), sanksi ekonomi (denda, penyitaan
barang), sanksi formal (melalui mekanisme pengadilan formal), dan sanksi fisik
(pemukulan).
6)
Monitoring (pemantauan): terdapat mekanisme
pemantauan dan evaluasi oleh masyarakat secara sukarela dan bergilir yang
bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan.
Pada bukunya,
Satria (2009) mengungkapkan tipe-tipe kepemilikian versi Ostrom dan Schlager
(1999) meliputi :
a)
Hak akses (access right) : hak untuk masuk ke wilayah sumber daya yang memiliki batas-batas yang
jelas dan untuk menikmati manfaat non-ekstraktif.
b)
Hak pemanfaatan (withdrawal right) : hak untuk memanfaatkan
sumber daya atau hak untuk berproduksi.
c)
Hak pengelolaan (management right) : hak untuk menentukan
aturan operasional pemanfaatan sumber daya.
d)
Hak eksklusi (exclusion right)
: hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses
dan bagaimana akses tersebut dialihkan ke pihak lain.
e)
Hak pengalihan (alienation right) : hak untuk menjual atau
menyewakan sebagian atau seluruh hak-hak kolektif.
c.
Ko-manajemen Model ini merupakan
sintesis dari dua model pengelolaan oleh pemerintah dan masyarakat. Dalam model
ini pemerintah dan masyarakat yang sering diwakili organisasi nelayan atau
koperasi perikanan sama-sama terlibat dalam proses pengelolaan sumber daya:
mulai dari perencanaan hingga pengawasan. Namun, pembahasan mengenai model
pengelolaan sumber daya pesisir selanjutnya lebih berfokus pada manajemen
kolaborasi yang merupakan pokok bahasan dalam penulisan skripsi ini.
2.2 Faktor-faktor
Penunjang Keberhasilan Manajemen
Kolaborasi Sumber Daya Pesisir
Keberhasilan dalam menerapkan model
pengelolaan ko-manajemen dalam pengelolaan sumber daya pesisir tidaklah lepas
dari faktor-faktor yang mendukung terlaksananya ko-manajemen. Berikut adalah
faktor-faktor yang mendukung terlaksananya penerapan model ko-manajemen dalam
pengelolaan sumber daya menurut Nielsen (1997) dalam Imron (2013) :
1.
Kapabilitas dan aspirasi kelompok
masyarakat pengguna
Cara pemerintah
mendelegasikan wewenangnya kepada kelompok masyarakat pengguna. Ko-manajemen
akan terlaksana ketika kelompok masyarakat pengguna mampu dan mau berbagi
tanggung jawab.
2.
Pendekatan dari atas (top down) atau pendekatan dari bawah (bottom up)
Tipe pendekatan ini sangat
memengaruhi tingkat partisipasi kelompok masyarakat pengguna. Pendekatan top down cenderung bersifat
instruksional, sedangkan pendekatan bottom
up lebih mendorong komanajemen berdasarkan aspirasi masyarakat.
3.
Keputusan yang sulit
Pemerintah dalam kondisi dan
situasi tertentu menghadapi kesulitan dalam pengambilan keputusan, akhirnya
keputusan diberikan kepada masyarakat.
4.
Tugas-tugas dalam manajemen
kolaborasi
Semakin terbatas tugas dalam
pengambilan keputusan, pengelolaan cenderung bersifat instruksional.
5.
Tahapan dalam proses manajemen
kolaborasi
Pengaturan ko-manajemen
banyak terjadi hanya pada tahap implementasi sedangkan sedikit terlibat dalam
tahap perencanaan dan evaluasi.
6.
Batasan-batasan
Semakin jelas batasan wilayah
sumber daya yang dikelola, semakin meningkatkan partisipasi kelompok masyarakat
pengguna.
7.
Tipe kelompok masyarakat pengguna
Jika kelompok masyarakat
pengguna sangat heterogen, peran pemerintah akan lebih besar dalam pengaturan pengelolaan
sumber daya perikanan. Sebaliknya, jika masayarakat cenderung homogen,
kolaborasi antar anggota akan lebih tinggi.
8.
Budaya politik dan norma sosial
Masyarakat yang tidak mengenal
pemberdayaan politik akan mengalami kesulitan untuk berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan yang didasarkan atas prinsip kesetaraan posisi.
Berdasarkan faktor-faktor di atas,
Pomeroy dan Williams (1994) dalam bukunya mengacu pada Ostrom (1990;1992) dan
Pinkerton (1989) menjabarkan terdapat 11 kunci keberhasilan ko-manajemen,
antara lain :
1.
Batas wilayah yang jelas
Batas wilayah merupakan
sesuatu yang penting dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Batas wilayah ini
berhubungan dengan aktor yang memanfaatkan sumber daya.
2.
Keangggotaan yang jelas
Nelayan yang mempunyai hak
untuk memanfaatkan dan mengelola sumber daya di suatu wilayah harus secara
jelas didefinisikan. Jumlah keanggotaan yang terbatas akan memudahkan dalam
proses komunikasi dan pengambilan keputusan.
3.
Kohesi kelompok
Anggota organisasi yang seharusnya
tinggal disekitar wilayah sumber daya. Kedekatan tempat tinggal memungkinkan
tingginya tingkat homogenitas (secara kekeluargaan, etnik, agama dan jenis
peralatan tangkap antar anggota kelompok).
4.
Keberadaan Organisasi
Para nelayan harus memiliki
pengalaman sebelumnya dengan sistem pengelolaan tradisional dan
pengorganisasian yang berbasiskan masyarakat. Keanggotaan organisasi harus
mengakomodasikan semua pemangku kepentingan yang ada.
5.
Manfaat melebihi biaya
Manfaat yang diperoleh
melebihi biaya yang dikeluarkan. Biaya administrasi ko-manajemen dapat lebih
tinggi karena proses perumusan kebijakan lebih banyak membutuhkan waktu dan
melibatkan banyak kelompok kepentingan.
6.
Partisipasi pihak yang terlibat
Semua pihak yang terlibat
dalam pengelolaan sumber daya harus diikutsertakan dalam kelompok dan semua
pihak memiliki hak dalam pengambilan keputusan.
7.
Penegakan aturan manajemen
Aturan manajemen sebaiknya
sederhana. Monitoring dan penegakan hak dapat dilakukan oleh semua anggota
kelompok.
8.
Hak hukum pengorganisasian
Kelompok nelayan dan
organisasi mempunyai hak hukum untuk membuat peraturan yang mengikat pada para
anggotanya.
9.
Kerjasama dan kepemimpinan pada
level masyarakat Ada insentif dan kemauan para nelayan untuk berpartisipasi
secara aktif baik dalam waktu, tenaga dan uang.
10.
Desentralisasi dan Pendelegasian
wewenang (otoritas)
Pemerintah memiliki kebijakan
yang formal dan hukum-hukum yang berkaitan dengan desentralisasi fungsi-fungsi
administrasi dan delegasi tanggung jawab manajemen atau otoritas kepada
pemerintah lokal dan tingkat organisasi lokal.
11.
Koordinasi antar pemerintah dan
masyarakat
Lembaga koordinasi eksternal
harus didirikan. Kelompok yang ada harus menempatkan wakilnya dalam lembaga
kordinasi ini. Lembaga koordinasi bertugas untuk memonitor pengaturan manajemen
lokal, menyelesaikan masalah konflik dan menegakkan peraturan-peraturan yang
disepakati.
2.3 Desentralisasi
dan Otonomi Daerah
Meskipun pengelolaan SDA secara
hukum atas landasan UUD 1945 yang menyebutkan pengelolaan menjadi wewenang
negara sehingga setiap kebijakan keputusan dibuat secara sentralistik, namun
dalam upaya mendorong pembangunan nasional maka diwujudkanlan sistem otonomi
daerah. Sistem pemerintahan otonomi daerah dilaksanakan atas kesadaran bahwa
masyrakat setempat lebih memahami karakteristik wilayahnya maka keputusan yang
dibuatpun akan lebih sesuai dengan kebutuhan wilayah tersebut. Otonomi daerah
sebagai upaya untuk mendorong pembangunan nasional dimana daerah diberikan
wewenang untuk dapat mengambil keputusan yang lebih cepat, tepat dan
mengutamakan kondisi wilayahnya. Hal ini sependapat dengan Jentoft (1989) dalam
Wilson et al (2003) yang menegaskan bahwa salah satu kunci keberhasilan dalam
manajemen kolaborasi adalah dengan desentralisasi.
Desentralisasi merupakan proses
transfer atau pendistribusian wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah atau organisasi pemerintah bahkan swasta atau lembaga
masyarakat terkait dengan kebijakan formal dan hukum-hukum yang berkaitan
dengan fungsi administrasi. Keputusan yang diambil pun akan cenderung lebih
cepat dan tanggap sesuai dengan kebutuhan masyarakat mengingat lingkup
desentralisasi lebih kecil jika dibanding dengan lingkup sentralistik.
Pendekatan dalam desentralisasi
adalah mendelegasikan kekuasaan kepada tingkatan yang lebih rendah atau ke unit
yang lebih kecil dalam sistem pemerintah atau organisasi industri. Fokus utama
dalam proses desentralisasi adalah meningkatkan otonomi daerah. Umumnya,
kekuasaan dan wewenang ditransfer atau ditetapkan oleh peraturan pemerintah.
Berkenaan dengan hal ini, tentu desentralisasi menjadi sebuah langkah untuk
meminimalisasi kesalahan pemerintah sebagai pengambil kebijakan yang
bertanggung jawab dalam tata kelola daerahnya. Dengan demikian, desentralisasi
dapat menjadi peluang dan alternatif solusi dalam keberhasilan manajemen
kolaborasi dalam pengelolaan sumber daya pesisir.
2.4 Peranan
Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Manajemen Kolaborasi Sumber daya Pesisir
Lintang (2016) mendefiniskan
peranan atau peran dapat diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan seseorang
atas sesuatu pekerjaan. Peranan suatu aspek yang dinamis dari suatu kedudukan
atau status seseorang. Berdasarkan pengertian tersebut Juraidah (2016)
mempertegas bahwa ketika seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai
dengan kedudukannya, maka seseorang tersebut telah menjalankan peran. Maka dari
itu, dapat disimpulkan peran merupakan sebuah aspek dinamis dari kedudukan atau
status seseorang yang melaksanakan
hak-hak dan kewajiban. Artinya, ketika seseorang telah melaksanakan hak-hak dan
kewajibannya, maka orang tersebut telah menjalankan perannya.
Peraturan perundang-undangan telah
sangat jelas mengatur tentang kekuasaan negara dalam mengelola sumber daya alam
termasuk sumber daya pesisir. Namun, sebagai wujud nyata atas keseriusan
pemerintah dalam hal pengelolaan tersebut, setiap daerah diberikan wewenang
masing-masing untuk mengelola sumber daya yang terdapat di setiap daerah sesuai
dengan potensinya dan mengutamakan asas kedaulatan, keberlanjutan, dan
kesejahteraan.
Keseriusan tersebut dibuktikan
dengan adanya tata pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi yang telah
diatur dalam UU No 23 tahun 2014 mengenai wewenang pemerintah daerah dalam
mengelola sumber daya alam. Berkaitan
dengan peranan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya perikanan, Nikijuluw
(2001) dalam Satria (2015) membaginya ke dalam tiga fungsi yaitu fungsi
alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi. Fungsi alokasi melalui
regulasi dimaksudkan untuk membagi sumber daya sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan. Fungsi distribusi dilakukan pemerintah dalam upaya menciptakan
keadilan dan kewajaran sesuai pengorbanan dan biaya yang dipikul setiap orang
atau kelompok.
Sementara itu, fungsi stabilisasi
dilakukan dalam bentuk keberpihakan kepada mereka yang posisinya lemah. Selain
itu, peranan pemerintah dalam manajemen kolaborasi sumber daya pesisir dapat
dijelaskan dengan kewenangannya dalam mengelola sumber daya tersebut yang telah
tercantum dalam Undang-Undang tersebut.
Peranan pemerintah daerah dalam
manajemen kolaborasi sumber daya pesisir antara lain :
1.
Pemerintah berperan sebagai
Fasilitator (Jentoft dalam Wilson et al 2003).
Peranan pemerintah dalam hal ini adalah berkaitan dengan fungsi alokasi
(Nikijuluw 2001 dalam Satria 2015) atau fungsi minimal (Fukuyama 2004) yang
dapat dijabarkan antara lain :
a.
Peranan dalam melakukan
eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut (UU No. 23
Tahun 2014 Pasal 27 ayat 2).
b.
Menyediakan kebutuhan publik,
pertanahan, hukum, dan ketertiban, hak milik pribadi, manajemen makroekonomi,
kesehatan masyarakat, meningkatkan keadilan, dan melindungi kaum miskin
(Fukuyama 2004).
2.
Pemerintah berperan dalam
membangun kapasitas pada institusi lokal (Jentoft dalam Wilson et al 2003).
Peranan pemerintah dalam hal ini adalah berkaitan dengan fungsi distribusi
(Nikijuluw 2001 dalam Satria 2015) atau fungsi menengah (Fukuyama 2004) antara lain
:
a.
Berperan dalam meningkatkan
pendidikan dan lingkungan (Fukuyama 2004).
b.
Meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam mengelola sumber daya perikanan (Pomeroy dan Williams 1994).
c.
Memelihara sebuah forum atau
struktur administratif formal untuk berbagai partai dalam sistem ko-manajemen
untuk saling berinteraksi (Pomeroy dan Berkes 1997).
3.
Pemerintah berperan dalam
membangun rasa patuh masyarakat (Begossi dan Brown dalam Wilson et al 2003).
a.
Salah satu kesuksesan dalam
manajemen kolaborasi adalah ketika masyarakat telah terberdayakan dan
terorganisasi. Indikator negara kuat ditandai dengan sejauh mana Negara dapat
menjamin bahwa hukum dan kebijakan yang dilahirkan dapat ditaati oleh
masyarakat/rakyat tanpa harus adanya ancaman (Fukuyama 2004).
b.
Upaya menciptakan keadilan dan
kewajaran sesuai pengorbanan dan biaya yang dipikul setiap orang atau kelompok.
4.
Pemerintah berperan dalam
melaksanakan fungsi eksekutif (Pomeroy dan Berkes 1997). Pemerintah melakukan
peranan dalam menyediakan pelayanan (admistratif, teknis dan finansial). Detail
mengenai peranan pemerintah dalam penetapan perundang-undangan adalah sebagai
berikut :
a.
Pengaturan administratif (UU No.
23 Tahun 2014 Pasal 27 ayat 2).
b.
Pengaturan tata ruang (UU No. 23
Tahun 2014 Pasal 27 ayat 2).
c.
Penegakan hukum terhadap peraturan
yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh
Pemerintah (UU No. 23 Tahun 2014 Pasal 27 ayat.
5.
Pemerintah sebagai gatekeeper
(Pomeroy dan Berkes 1997). Pemerintah melakukan peranan dalam fungsi
stabilisasi (Nikijuluw 2001 dalam Satria 2015) antara lain :
a.
Ikut serta dalam pemeliharaan
keamanan dengan menjalin kerjasama antar pemangku kepentingan lainnya seperti
TNI dan POLRI sebagai lembaga yang berwenang dalam penanganan keamanan (UU No.
23 Tahun 2014 Pasal 27 ayat 2).
b.
Ikut serta dalam pertahanan
kedaulatan negara melalui tata pelaksanaan yang adil dan mengutamakan
kesejahteraan serta keberlanjutan sumber daya (UU No. 23 Tahun 2014 Pasal 27
ayat 2).
Desentralisasi dan ko-manajemen
seringkali berjalan beriringan, dan ada beberapa kesamaan tujuan diantara
keduanya. Strategi ko-manajemen dan desentralisasi tidak hanya menanggapi
krisis manajemen, keduanya juga menawarkan janji untuk meningkatkan
demokratisasi, dan pemberdayaan serta pengembangan masyarakat di level daerah
maupun regional. Tujuan dari keduanya adalah untuk memobilisasi dan memperkuat
partisipasi orang-orang dalam pemerintahan dan keadilan yang lebih pantas dalam
distribusi kekuasaan dan sumber daya pada level kelompok masyarakat lokal dan
komunitas (de Guzman, 1991).
Pomeroy dan Berkes (1997) yang
menyebutkan bahwa peranan pemerintah dalam ko-manajemen adalah untuk menetapkan
perundangundangan yang memungkinkan untuk mengesahkan dan melegitimasi hak
untuk mengatur dan untuk membuat serta membentuk institusi pada tingkat lokal.
Dalam hal ini, pemerintah boleh menangani masalah dan persoalan melebihi
jangkauan dalam ketatapan lokal, dan untuk menyediakan bantuan serta pelayanan
(administratif, tehnikal, dan finansial) untuk mendukung keberlanjutan
organisasi lokal dan institusional. Lebih spesifiknya, peranan pemerintah
termasuk dalam memastikan akuntabilitas ko-manajemen dalam mengatur ketetapan
daerah dan menghadapi penyalahgunaan wewenang daerah, konflik manajemen,
mekanisme banding, penghalang dalam monitoring daerah dan mekanisme pelaksanaan
serta penetapan standar yang berkaitan dengan regulasi.
Pemerintah juga dapat menyediakan
sebuah peran koordinasi untuk memelihara sebuah forum atau struktur
administratif formal untuk berbagai partai dalam sistem ko-manajemen untuk
saling berinteraksi. Penetapan
desentralisasi dalam ko-manajemen adalah sebuah proses politik beserta
pengerahan kepentingan dan perjuangan untuk kekuasaan. Bagaimanapun, pemerintah
lah yang memegang keputusan akhir. Ko-manajemen tidak akan bekerja dimanapun
dalam sebuah negara. Ko-manajemen harus dipandang oleh pemerintah sebagai
sebuah alternatif strategi manajemen untuk sistem manajemen terpusat yang dalam
banyak kasus tidak bekerja efektif. Tidak ada formula cetak biru baik dalam
ko-manajemen ataupun desentralisasi.
Setiap negara akan bergerak untuk
pertumbuhan strategi berdasarkan kebutuhan dan kondisinya masing-masing. Namun,
beberapa dekade dari pengalaman internasional mengarahkan untuk membangun
strategi ko-manajemen berdasarkan desentralisasi. Peranan masyarakat dan
pemerintah dalam manajemen kolaborasi yang paling ideal adalah ketika
pemerintah dan masyarakat menjadi mitra yang sejajar dan bekerja sama untuk
melaksanakan semua tahapan dan tugas proses pengelolaan sumber daya dan
lingkungan. Pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam mengelola potensi yang
dimiliki daerahnya. Begitupun dalam pengelolaan pesisir, pemerintah daerah
memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam pengelolaan dan pengaturan
kebijakan mengenai aktor-aktor yang terlibat dalam pengelolaan pesisir.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan yang telah
dijelaskan di atas, dapat disimpulkan yaitu sebagai berikut :
1.
Peraturan dan perundang-undangan
yang telah dimemaparkan bahwa negara memiliki kewenangan dan tanggungjawab
dalam pengelolaan sumber daya alam wilayah pesisir secara nasional.
2.
Keberhasilan dalam menerapkan
model pengelolaan ko-manajemen dalam pengelolaan sumber daya pesisir tidak
lepas dari faktor-faktor yang mendukung terlaksananya ko-manajemen.
3.
Desentralisasi merupakan proses
transfer atau pendistribusian wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah atau organisasi pemerintah bahkan swasta atau lembaga
masyarakat terkait dengan kebijakan formal dan hukum-hukum yang berkaitan
dengan fungsi administrasi.
Otonomi daerah sebagai upaya untuk mendorong pembangunan
nasional dimana daerah diberikan wewenang untuk dapat mengambil keputusan yang
lebih cepat, tepat dan mengutamakan kondisi wilayahnya.
4.
Peran pemerintah dalam ko-manajemen adalah untuk menetapkan perundangundangan
yang memungkinkan untuk mengesahkan dan melegitimasi hak untuk mengatur dan
untuk membuat serta membentuk institusi pada tingkat lokal.
3.2 Saran
Saran yang disampaikan penulis
yaitu penjelasan manajemen kolaborasi atau ko-manajemen dapat diperdalam dengan
membaca skripsi atau jurnal mengeai pembahasan tersebut sehingga makalah lebih
dapat dipahami.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat
Statistik. 2017. http://www.bps.go.id. Diakses
pada 25 Januari 2019.
Nilasari, Dias.
2017. Analisis Peran Pemerintah Daerah dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir di
Desa Wewangriu Kecamatan Malili Kabupaten Luwu Timur. Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik. Unhas. Makassar. [Skripsi].
Rudyanto, Arifin.
2004. Kerangka Kerjasama dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut.
Direktur Kerjasama Pembangunan Sektoral dan Daerah. Bappenas. Jakarta.
Safitri, RN. 2017.
Peranan Pemerintah Daerah dalam Manajemen Kolaborasi Sumber Daya Pesisir (Studi
Kasus Kabupaten Wakatobi, Sulsel). Fakultas Ekologi Manusia. IPB. Bogor.
[Skripsi].